"Selamat Datang Di Kinabi Poetra | Blog"

10 Feb 2013

"REFLEKSI SEJARAH BANGGAI, Mengorek Kronologis Penamaan Kabupaten Banggai"

,



Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Banggai Kepulauan (IMBK) Luwuk.
Pemerhati Sejarah Banggai

Kabupaten Banggai ibu kotanya Luwuk, bukan Banggai, hal ini tentunya bisa mengundang pertanyaan, bahkan kebingunan bagi mereka yang kurang atau tidak mengerti kronologis sejarah Banggai. Bisa saja itu terjadi, karena memang secara geografis dan de facto Banggai merupakan nama pulau, nama kota, nama suku dan nama bahasa daerah yang semuanya sekarang berada di Kabupaten lain (Banggai Kepulauan), dan tidak berada di Kabupaten Banggai ini yang nota benenya berada di daratan pulau Sulawesi.
Secara umum mungkin masyarakat Kabupaten Banggai maupun Banggai Kepulauan khususnya generasi muda sekarang hanya mengetahui dan memahami secara sederhana bahwa penamaan Kabupaten Banggai tidak terlepas dari sejarah kerjaan Banggai yang beribukota di Luwuk. Pemahaman sejarah secara parsial inilah yang kemudian mengantarkan mereka pada penggeneralisasian sejarah Banggai yang secara keliru yang mengarah pada distorsi historis. Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan secara singkat sejarah Banggai hingga sampai pada kronologis penamaan kabupaten Banggai yang beribukota Luwuk, bukan Kabupaten Banggai yang beribukota Banggai, atau Kabupaten Luwuk yang beribukota Luwuk.
Banggai sebenarnya telah dikenal sejak abad ke 13-14 Masehi, ketika pada masa kejayaan kerajaan Mojopahit yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk (1351-1389) dimana Banggai telah menjadi bagian dari kerajaan adikuasa Mojopahit. Hal ini dibuktikan melalui tulisan Mpu Prapanca seorang pujangga Mojopahit dalam bukunya Nagara Kertagama bertarik caka 1478 atau sekitar 1365 Masehi yang termuat dalam seuntai syair nomor 14 bait ke lima sebagai berikut,“Ikang saka nusa-Nusa, Mangkasara, Buntun, Benggawi, …
Banggai yang dimaksud dalam tulisan Mpu Prapanca adalah Banggai sejati atau wilayah Banggai saja (sekarang) Kabupaten Banggai Kepulauan yang tidak lain adalah merupakan suatu kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Adi dan empat orang penasehat bagi Adi yang bergelar Tomundo sangkap yang terdiri dari tomundo Olu atau Babolau, Tomundo Lombongan atau Katapean, Tomundo Singgolok, dan Tomundo Kokini. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum seorang Adi Lambal Polambal datang yang merupakan Adi kelima atau terakhir.
Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal datanglah seorang bangsawan dari tanah Jawa (Demak) yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari kesultanan bernama Adi Cokro yang oleh orang Banggai disebut Adi Soko. Karena kearifan dalam mengatasi konflik yang kerap kali terjadi antar keempat batomundoan tersebut, keempat Tomundo itu kemudian bersepakat untuk menobatkan Adi Cokro sebagai raja utama mereka yang disertai dengan penyerahan kekuasaan dari Adi Lambal Polambal kepada Adi Cokro. Setelah menjadi raja Adi Cokro bergelar Mumbu dan memerintah tahun 1580-1590, sejak itu menurut J.J.Dormeir gelar Adi menghilang dan digantikan dengan Mumbu yang kemudian dikombinasikan dengan tempat mereka (raja) meninggal dan di kuburkan, seperti misalnya Raja Mbulang Mumbu Doi Balantak, yaitu raja yang meninggal di Balantak dst. Sejak raja Abdul Azis naik tahta pada tahun 1882 gelar Mumbu kemudian tidak digunakan lagi dan digunakanlah gelar Tomundo sampai pada raja terakhir Tomundo Nurdin Daud.
Sementara itu Adi terakhir Adi Lambal Polambal oleh Adi Cokro diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahan dengan memberi jabatan Jogugu, sedangkan keempat Tomundo tetap dipertahankan dalam kapasitas mereka sebagai Dewan Penasehat dengan gelar kehormatan Pau Basal (banggai : Pau = anak/putera, Basal = besar), dan memberi mereka nama-nama baru seperti Olu (Babolau) menjadi Doduung, Kokini menjadi Tano Bonunugan, Singgolok menjadi Monsongan, dan Lombongan (katapean) menjadi Gonggong. Gelar Pau Basal ini kemudian berkembang menjadi Basalo yang sekarang kita kenal dalam struktur lembaga adat Banggai disebut Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Babolau di Doduung, Basalo Kokini di Tano Bonunugan, Basalo Singgolok di Monsongan, dan Basalo Katapean di Gonggong yang semuanya berkedudukan di Pulau Banggai Kabupaten Banggai Kepulauan. Keempat Basalo ini bertugas memilih dan melantik seorang bangsawan menjadi raja serta meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja banggai secara berurutan, mereka sangat dihormati oleh Mumbu dan para penerusnya karena merupakan suatu Dewan Penasehat yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mumbu.
Pada masa kekuasaan Adi Cokro beliau kemudian sukses memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai dengan menaklukan kerajaan-kerajaan di Pulau Peling seperti kerajaan tua Tokolong (Buko) dan Lipu Babasal (Bulagi) serta kerjaan Sisipan, Liputomundo, Kadupang, dan Bongganan. Selain itu ia juga berhasil menundukan kerjaan Bualemo, Bola, Lowa, dan Gori-gori di wilayah jazirah timur Pulau Sulawesi (Banggai darat). Menurut hemat penulis prestasi inilah yang kemudian melahirkan klaim bahwa Adi Cokro lah pendiri Kerajaan Banggai modern.
Adi Cokro mempunyai tiga orang isteri yaitu pertama menikah dengan puteri Raja Motindok (Batui) Nuru Sapa mempunyai putera bernama Abu Kasim, kedua menikah dengan seorang Castella Putri Kerajaan Portugis di Ternate dan mempunyai putera bernama Maulana Prins Mandapar,dan yang ketiga yaitu menikah dengan Puteri Basalo Babolau atau Doduung, Nurusia dan memperoleh seorang anak bernama Puteri Saleh. Konon katanya seperti di tulis oleh J.J. Dormeier dalam bukunya Banggaische Adatrecht (1945) karena sang isteri Nuru Sapa sering bertengkar dengan isteri Nurusia maka adi Cokro memutuskan untuk kembali ke Demak dengan membawa serta isteri ketiganya Nurusia bersama puterinya yang masih kecil hingga mangkat disana.
Pasca sepeninggal Adi Cokro, Kerajaan Banggai mengalami masa transisi berdarah dan degradasi pemerintahan, selanjutnya disebut dua belas orang Mumbu yang memerintah secara berturut-turut, tiga diantara mereka tercatat sebagai Mumbu Dinaadat (banggai : dinaadat = dibunuh) yaitu Mumbu doi Tano, Mumbu doi Ndalangon, Mumbu Palangkangkang, Mumbu Tetelengan, Mumbu Dinaadat doi Batang, Mumbu Dinaadat doi Taipa, Mumbu Dinaadat, Mumbu Aibinggi, Mumbu Sinambebekon, Mumbu doi Taipa, dan Mumbu doi Pangkola.
Krisis berkepanjangan ini baru berakhir setelah Mandapar putera Adi Cokro memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya diseluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai. Sejak dari raja Mandapar silsilah raja-raja Banggai telah teratur, terhitung secara berurut ada 20 orang raja, mulai dari Mandapar sampai dengan Nurdin Daud yaitu sebagai berikut :
1). Maulana Prins Mandapar Mumbu doi Godong (1600-1630),
2). Molen Mumbu doi Kintom (1630-1648),
3). Mbulang Mumbu doi Balantak (1648-1689),
4). Paudagar Mumbu doi Beteng (1689-1705),
5). Abdul Gani Mumbu doi Kota (1705-1728),
6). Abu Kasim Mumbu doi Bacan (1728-1753),
7). Kabudo Mumbu doi Mendono (1753-1768),
8). Ansyara Mumbu doi Padongko (1768-1773),
9). Manduis Mumbu doi Dinaadat (1773-1809),
10). Atondeng Mumbu doi Galela (1809-1821),
11). Agama Mumbu doi Bugis (1821-1827),
12). Lauta Mumbu doi Tenebak (1827-1847),
13). Taja Mumbu doi Sau (1847-1852),
14). Tatu Tanga Mumbu doi Jere (1852-1858),
15). Soak Mumbu doi Banggai (1858-1870),
16). Nurdin Mumbu doi Labasuma (1870-1882),
17), Tomundo Hi. Abdul azis (1882-1900),
18). Tomundo Hi. Abdul Rahman (1901-1922),
19). Tomundo Hi.Awaludin (1925-1940),
20). Nurdin Daud (1940-1959).
Ke 20 raja Banggai ini mulai dari Mandapar hingga Nurdin Daud melaksanakan pemerintahannya dengan pusat pemerintahan di kota Banggai.
Setelah raja Awaludin wafat, secara yuridis formal berdasarkan konstitusi kerajaan Banggai, maka dilantiklah Nurdin Daud sebagai raja Banggai selanjutnya dan merupakan raja terakhir kerajaan Banggai pada tahun 1940 diusia 12 tahun. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang masih terlalu belia untuk melaksanakan tugas pemerintahan kerajaan Banggai, maka ditunjuklah Syukuran Aminudin Amir yang saat itu menjabat Mayor Ngopa sebagai Pelaksana Tugas harian (plt) mendampingi raja Nurdin Daud, bukan ditunjuk sebagai raja Banggai. Namun karena ambisi pribadi Syukuran Amir untuk menjadi raja, Syukuran Amir kemudian berhianat dan merebut tahta kerajaan Banggai dari raja muda Nurdin Daud secara inkonstitusional kala raja Nurdin Daud sedang bersekolah di Makassar. Beliau kemudian mengklaim dirinya sebagai raja dan sekarang diklaim oleh sebagian masyarakat awam yang kurang memahami sejarah Banggai secara utuh sebagai raja banggai terakhir setelah raja Awaludin.
Menurut pengakuan saksi sejarah (tokoh adat Banggai) yang dikutip oleh Abdul Yasin dalam catatannya Menggugat Sejarah Banggai sebagaimana dilansir salah satu media massa local medio April 2008 bahwa “kala raja Nurdin Daud berada di Makassar untuk studi, Syukuran Amir meminta kepada Dewan Basalo Sangkap untuk melantik dan mengesahkan dirinya sebagai raja Banggai, namun hal itu ditolak oleh Dewan Basalo Sangkap, karena memang hanya ada satu raja Banggai legal dan sah secara hukum diwilayah kerajaan Banggai pada saat itu, namun hal itu tidak menyurutkan ambisi Syukuran Amir untuk merebut tahta kerajaan banggai dari tangan raja Nurdin Daud”. 
Pada tahun 1941 merupakan awal terjadinya episode baru rekayasa sejarah kerajaan Banggai yang dilakukan oleh Syukuran Amir sang pejabat pelaksana tugas harian pemerintahan kerajaan Banggai. Karena tidak mendapat dukungan dari Basalo Sangkap atas keinginannya untuk dikukuhkan sebagai raja banggai definitive, serta atas kerjasamanya dengan pemerintah Hindia Belanda yang berada di Luwuk, Syukuran Amir memindahkan ibu kota kerajaan Banggai dari Kota Banggai ke kota Luwuk yang berada didaratan Pulau Sulawesi, kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi didalam kota Luwuk dengan nama Keraton Banggai meskipun sejatinya tidak ada bangunan keratonnya, rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai telah mempunyai keraton di Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.
Rekayasa dan dosa sejarah Syukuran Amir yang telah merebut tahta kerajaan Banggai secara inkonstitusional dari tangan raja terakhir Nurdin Daud serta memindahkan ibu kota kerajaan dari kota banggai ke kota Luwuk atas konspirasinya dengan pemerintah Hindia Belanda, nampaknya memberikan keuntungan bagi Luwuk ibukota kerajaan banggai versi Syukuran Amir dan sebaliknya merugikan bagi kota Banggai sebagai ibukota kerajaan Banggai sesungguhnya.
Setelah kerajaan Banggai mengalami berbagai macam perubahan karena perkembangan sejarah, mulai Swapraja Banggai, lalu Dasting II Banggai, kemudian Daswati II Banggai, dan kini Kabupaten Dati II Banggai yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi (LN 1959/74, TLN 1822). Daerah-daerah dimaksud diantaranya adalah daerah Swantara tingkat II Banggai atau simpelnya disebut kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk, bukan kota Banggai yang sejatinya merupakan pusat peradaban kerajaan Banggai. Fakta inilah yang oleh penulis disebut menguntungkan Luwuk dan merugikan Banggai yang semunya berawal dari rekayasa dan dosa sejarah yang dilakukan oleh Syukuran Amir. Mungkin sejarah akan berbicara lain jika kala itu Syukuran Amir tidak merebut dan memindahkan ibukota kerajaan Banggai dari Banggai ke Luwuk, logikanya jika black historis itu tidak terjadi, maka ibukota kabupaten Banggai sekarang bukan di Luwuk tapi di Banggai. 

NB: Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local (Luwuk Post) edisi 11 Juli 2008

Sumber:
http://fathanisme.blogspot.com/2013/01/refleksi-sejarah-banggai-mengorek.html?spref=fb

                                                                                                                       By : ridayakinabi@gmail.com

2 komentar:

  1. "Pada masa kekuasaan Adi Cokro beliau kemudian sukses memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai dengan menaklukan kerajaan-kerajaan di Pulau Peling seperti kerajaan tua Tokolong (Buko) dan Lipu Babasal (Bulagi) serta kerjaan Sisipan, Liputomundo, Kadupang, dan Bongganan. Selain itu ia juga berhasil menundukan kerjaan Bualemo, Bola, Lowa, dan Gori-gori di wilayah jazirah timur Pulau Sulawesi (Banggai darat). Menurut hemat penulis prestasi inilah yang kemudian melahirkan klaim bahwa Adi Cokro lah pendiri Kerajaan Banggai modern."
    " KALAU BEGITU SI ADI COKROLAH SANG TRULLY PENJAJAH WILAYAH TIMUR SULAWESI..!!

    BalasHapus
  2. ini saya tambah

    http://cooljalil.blogspot.com/2014_04_01_archive.html

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.